Keikhlasan dan Kepercayaan

Suatu sore (bulan Ramadhan kemaren) ketika perjalanan pulang kerumah, aku teringat bahwa hari ini ada kebagian tugas membeli pisang raja untuk membuat kolak bakal Takjil (buka bersama) di Masjid. Aku sempatkan dulu ke ATM, karena di dompet tinggal ada uang beberapa ribu saja. Aku mengambil hanya beberapa lembar yang kebetulan ATM hanya menyediakan pecahan Rp. 50.000,- an. Di perjalanan pulang aku selalu tengok kiri tengok kanan, barangkali ada pedagang pisang.
Perjalananku pulang melewati sawah dan perkampungan. Selepas menikmati pemandangan
hijaunya sawah, aku memasuki sebuah perkampungan. Belum begitu jauh jarak yang aku tempuh, aku melihat di depan sebuah rumah bambu tergantung beberapa pisang dan juga pepaya serta beberapa kelapa muda. Aku berhenti, dan sesaat keluarlah seorang nenek dengan badan yang sudah bungkuk dan berjalan tertatih menghampiriku.

"Badhe ngersa aken menopo den ...... " (Ada yang Aden inginkan ?) begitu sapanya dengan sangat lirih dan senyum yang tidak dibuat-buat.
"Ada pisang raja Mbah .....". Jawabku.
"Ini Den ada beberapa sisir ...... butuh berapa ?" tanya Nenek itu.
"Anu Mbah .... kalau untuk bikin kolak dan kira-kira bisa jadi 40 mangkok untuk Takjilan nanti sore butuh berapa sisir Mbah.." Aku bertanya,karena memang belum tahu berapa kebutuhanku akan pisang itu.
"Kalau di campur Ubi, kolak dan nangka ..... 3 sisir juga cukup Den." Padahal aku tahu Mbah ini punya lebih dari 5 sisir pisang raja yang sudah matang dan harus segera terjual agar tidak busuk. Tapi Mbah ini dengan kepolosannya dan kejujurannya mengatakan bahwa saya cukup membeli 3 sisir saja dan bukannya dia mengatakan harus beli 5 sisir agar semua dagangannya laku.

Akhirnya, terjadi tawar menawar harga untuk 3 sisir pisang raja. Di situ, dalam proses negosiasi (tawar-menawar) saya banyak belajar dari beliau. Bukan masalah selisih harga yang hanya limaratus atau seribu, tetapi proses negosiasi harga yang ternjadi antara aku dan Mbah penjual itu adalah suatu interaksi yang sangat mengasyikkan dan sarat makna. Negosiasi yang dipenuhi dengan senyum dan kejujuran, tanpa muslihat. Akhirnya kami sepakat untuk 3 sisir pisang saya harus membayar Rp. 36.000,-. Aku mengeluarkan selembar uang 50 ribuan, lalu aku serahkan kepada Mbah itu. 
"Aduuhh .....Den..... Uang pas aja, saya tidak punya kembalian"
Lalu aku membuka dompet mengeluarkan beberapa lembar uang lima ribuan, tetapi setelah aku hitung cuma ada Rp. 25.000,-.
"Mbah ini saya cuma ada uang Rp.25.000,- ..... saya beli 2 sisir aja ya .... kembalian seribu". Sambil aku berikan lima lembar lima ribuan itu. 
"Den ..... sudahlah ... Aden bawa 3 sisir pisang itu .... nanti kapan-kapan Aden lewat sini Aden bisa membayar kekurangannya".
"Lho Mbah ....saya tidak mesti tiap hari lewat sini ....".
"Nggak apa apa Den .....kapan saja Aden lewat".
Karena Mbah sedikit memaksa dan saya juga melihat dari ketulusannya, yang sungguh jarang saya menyaksikan ketulusan seperti. Akhirnya saya membawa pulang 3 sisir pisang dengan meninggalkan hutang Rp. 11.000,- kepada Mbah yang sama sekali belum mengenal saya bahkan juga belum tahu sifat dan intergritas yang saya miliki.
Pada malam harinya, aku sempat merenung. Betapa lugu dan naifnya Mbah si pedagang pisang itu. Dia rela mengambil resiko rugi dan kehilangan Rp. 11.000,- dengan mempercayai saya yang belum di kenal, bahkan tidak tahu di mana saya tinggal. Namun saya melihat keikhlasan yang tulus di matanya pada saat itu. Yang mungkin uang Rp. 11.000,-cukup besar artinya bagi Mbah itu. Tetapi diriku ? ah .... betapa banyak rasa curiga, tidak percaya, dan tiada rasa keikhlasan dalam diriku. Kenapa saya tidak meninggalkan uang Rp.50.000,- dan mengambil kembaliannya kapan aku lewat lagi, toh aku tahu di mana Ia tinggal. Bahkan seandainya aku mampu mengikhlaskan kembalian sebesar Rp. 14.000,- dengan niat sodaqoh (bulan Ramadhan lagi) ah .....kenapa itu tidak ada dalam pikiranku.
 
Beberapa hari kemudian saya melewati perkampungan tempat saya membeli pisang. Dan saya teringat masih punya hutang Rp. 11.000,-kepada Mbah si penjual pisang. Aku berfikir, akan mampir untuk membayar hutang tersebut. Tetapi ketika saya tiba di depan rumah Mbah penjual pisang tersebut, nampak ada beberapa orang yang sedang bersih-bersih sepertinya barusan ada yang punya 'Gawe'. Lalu aku menghampiri seorang lelaki dan aku bertanya kepadanya. 

"Maaf Pak ...... Mbah yang menjual pisang di depan itu ada ?"
Lelaki itu menatapku dengan raut muka yang tidak aku pahami, kaget atau heran atau .. entahlah.
"Anu Pak..... Mbah Mangun baru aja selesai di makam kan di Pemakaman wetan ndeso.".

Aku hanya terdiam ..... dan tak terasa mengalir air mataku. Ternyata hanya sedemikian kualitas 'kepercayaan' dan 'keikhlasan' yang ada dalam diriku.

Semoga ada hal bisa kita ambil dari cerita di atas,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar