Sebagai bahan perenungan mengenai Takdir Tuhan mungkin beberapa ayat dari Al Qur’an ini bisa menjadi acuan. Semoga.
Allah ta’ala berfirman:
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Al-Hadid: 22-23)
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. Ar-Rum : 41)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيـبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa dirimu, maka adalah disebabkan oleh perbuatanmu tanganmu sendiri, dan Allah mema’afkan sebahagian dari dosa-dosamu. ( As-Syura : 30)
ٱلَّذي لَهُ مُلْكُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَداً وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَريكٌ فِي الْمُلْكِ وَ خَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْد
Dari Surat Al-Hadid ayat 22-23, telah dinyatakan bahwa tiada satu bencana dibumi dan pada diri manusia melainkan telah tertulis (ditetapkan) dalam kitab (Lauhul Mahfuzh), namun yang ditetapkan adalah hukum-hukum yang obyektif, misalnya Banjir di Jakarta maka Qadha-nya (misal) jika peresapan air semakin berkurang (lahan habis untuk gedung dan jalan) dan hujan lebat dan sungai menjadi dangkal dan banyak sampah di sungai dan …. Dan …. Dan ….., inilah yang ditetapkan di Lauhul Mahfuzh dengan jumlah jika …… dan ….. dan ….. dan …..yang tak terhingga. Apabila ketetapan ini terpenuhi maka Takdir (Qadar) banjir untuk Jakarta terjadilah. Sehingga di surat Ar-Rum : 41 dan As-Syura : 30 disebutkan bahwa bencana itu disebabkan oleh tangan manusia sendiri.
Sedangkan Al-Furqon ayat 2 menjelaskan bahwa Allah menjadikan segala sesuatu itu dengan telah menetapkan ukurannya (hukum/ketentuannya) dengan serapi-rapinya (kalau bahasa pemrograman serapi-rapinya artinya telah mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi, kalau user menekan tobol A maka program 1 yang dilaksanakan, kalau menekan B program 2 yang dilaksanakan, kalau menekan A dan B …… kalau menekan ….. yang lain dan seterusnya segala kemungkinan telah terpikirkan).
Qadha adalah hukum atau ketetapan yang berisi berbagai kemungkinan, artinya Qadha adalah pilihan. Sedangkan ujung/akhir dari Qadha adalah Qadar, ini berarti kita bisa memilih takdir kita sendiri dengan jalan memilih Qadha yang sesuai dengan takdir yang kita pilih. Masalahnya banyak pilihan Qadha yang tidak kita ketahui.
Dalam pemilihan takdir ini ada dalilnya dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwa Amirul Mu'minin, Umar bin Khaththab, ketika pergi menuju Syam, di tengah perjalan dia mengetahui bahwa telah menyebar wabah penyakit di sana. Kemudian para sahabat bermusyawarah; apakah perjalanan ini diteruskan atau kembali pulang ke Madinah?
Maka terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka dan kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke Madinah. Ketika beliau (Umar) sudah mantap pada pendapat tersebut, maka datanglah Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarah sembari berkata: "Hai Amirul Mu'minin, mengapa anda kembali ke Madinah dan lari dari Qadar Allah ?"
Umar menjawab: "Kami lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah yang lain". Kemudian setelah itu datang Abdurrahman bin Auf (dia sebelumnya tidak ada di situ untuk memenuhi kebutuhannya), kemudian dia menceritakan bahwa Nabi pernah bersabda tentang wabah penyakit.
Rasulullah bersabda, ”Bila kamu sekalian mendengar terjadinya wabah penyakit di bumi tertentu, maka janganlah kamu mendatanginya.”
Dari riwayat di atas, ternyata kita bisa menghindari ‘Takdir’ (yang belum terjadi) untuk menjemput takdir lain. Jika Umar menggenapi Qadha untuk tetap menuju Syam mungkin akan tertimpa musibah penyakit sebagai takdirnya. Namun Umar memilih Qadha untuk kembali ke Madinah dan mendapatkan Takdirnya untuk selamat dari wabah penyakit.
Demikian yang bisa saya sampaikan, meskipun masih banyak dalil baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunah yang menerangkan mengenai Takdir. Sekali lagi jika ada kekeliruan itu semata-mata karena diri dan pemikiran saya yang sangat awam dan picik. Semoga Allah mengampuni kesalahan pemahaman saya atas semua petunjukNya.
Semoga bermanfaat.
Silahkan mengutip dan/atau mempublikasikan sebagian atau seluruh artikel di Blog ini dengan menyebut sumber-nya. terimakasih.
Surya Hidayatullah Al-Mataromi : http://cerminrefleksi.blogspot.com/
Silahkan mengutip dan/atau mempublikasikan sebagian atau seluruh artikel di Blog ini dengan menyebut sumber-nya. terimakasih.
Artikel Terkait :
- Kekuatan Syukur
- Arti Kata Syukur
- Kenapa Kita Harus Bersyukur (?)
- Tingkatan Syukur
- Takdir Tuhan Bag. 1
- Takdir Tuhan Bag. 2
- Takdir Tuhan Bag. 3
- Takdir Tuhan Bag. 5
- Takdir Tuhan Bag. 6
- Apakah QOLBU itu ? Hati, Jantung atau Otak ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar