Jika kita memiliki ‘sesuatu’ biasanya kita ingin memiliki yang lebih daripada yang telah kita miliki. Karena secara naluriah pikiran kita berpendapat bahwa ‘untuk mendapatkan yang lebih baik kita harus memperoleh lebih dari yang sudah kita miliki”. Melepaskan pikiran dari pernyataan “yang lebih itu lebih baik” bukan berarti memiliki banyak barang itu sesuatu hal yang salah, buruk atau berbahaya, tetapi yang berbahaya adalah keinginan untuk mendapatkan lebih banyak, dan lebih banyak lagi. Selama kita mempunyai pikiran bahwa yang lebih itu lebih baik, maka kita tak akan pernah merasa puas.
Begitu kita memperoleh sesuatu, atau mendapatkan sesuatu maka kebanyakan dari kita segera akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pikiran dan Keinginan seperti itu jika menjadi suatu 'kemelekatan' maka akan mengurangi bahkan memadamkan penghargaan dan rasa syukur akan karunia hidup yang sudah banyak kita terima sebagai anugrah Yang Maha Esa.
Mari kita amati diri kita sendiri, bagaimana perasaan kita saat baru saja menempati rumah yang saat ini kita tinggali. Atau bahkan sesaat sebelum kita pindah ke rumah ini dan menempatinya. Apakah getar kebahagiaan itu masih terasa sama sampai saat ini ? atau getaran itu telah lenyap karena kita menginginkan rumah lain yang menurut kita lebih baik, lebih nyaman ?. Saya jadi teringat saat Dalai Lama memenangkan Hadiah Nobel di tahun 1989. Pertanyaan yang di lontarkan para wartawan adalah “Setelah ini apa ?”, ”What's next ?”. Nampaknya apapun yang kita lakukan, membeli Rumah atau Mobil, mendapat Rejeki, memperoleh Pasangan Hidup, mendapat Penghargaan atau apapun tidaklah pernah cukup. Dengan kadar yang berlainan kita semuanya seperti itu.
Salah satu kiat untuk mengatasi kecenderungan tersembunyi yang membahayakan seperti di atas adalah dengan menyakinkan diri kita bahwa ‘yang lebih itu belum tentu lebih baik’. Dan masalahnya bukan terletak pada apa yang belum kita miliki, tetapi lebih di 'kemelekatan' pada ‘keinginan mendapat lebih banyak’. Belajar menjadi ’puas’ bukan berarti kita DILARANG memperoleh yang lebih dari yang sudah kita miliki. Namun janganlah kita 'melekat' pada keinginan untuk memperoleh lebih. Yang berbahaya adalah ‘kemelekatan keinginan’ untuk memperoleh lebih.
Marilah kita bersama-sama belajar mengembangkan apresiasi baru akan karunia yang telah kita dapatkan. Belajar untuk melihat hidup dengan pikiran yang lebih segar, seperti saat pertama kita melihat atau memperolehnya. Kita harus mampu mengembangkan kesadaran yang baru, dan kita akan menemukan bahwa ketika sesuatu (barang atau prestasi) yang baru memasuki kehidupan kita maka, tingkat apresiasi kita kepada hal tersebut akan lebih meningkat. Hargailah segala yang kita miliki, maka kita akan memiliki lebih lagi. Jika kita fokus pada apa yang tidak kita miliki, kita tidak akan pernah merasa cukup dalam hal apapun.
Penyebab ketidak bahagiaan kita adalah adanya disparitas (kesenjangan/jarak) antara yang kita miliki dengan yang kita inginkan. Dan hanya ada dua solusinya, yaitu meningkatkan apa yang kita miliki atau mengeliminasi apa yang kita inginkan. Jika cara pertama, meningkatkan apa yang kita miliki, yang kita pilih, maka kita akan menghadapi realita bahwa keinginan kita berbanding lurus dengan perolehan kita. Maksudnya keinginan kita akan meningkat sejalan dengan apa yang kita peroleh. Cara yang kedua relatif efektif dan tidak memerlukan banyak biaya. Kita dapat memilih menghabiskan waktu dan energi untuk mengejar kebahagiaan dengan memenuhi seluruh keinginan kita, atau kita segera menyadari bahwa apa yang telah kita miliki cukup untuk membahagiakan kita. Keinginan yang belebihan, selain mendatangkan penderitaan juga sering menggiring orang melakukan perbuatan yang mendatangkan karma buruk.
Buddha mengajarkan untuk “Melihat segala sesuatu apa adanya”. Melihat makanan sebagai makanan, bukan pemuas nafsu. Sehingga menghargai makanan apapun. Melihat rumah sebagai tempat berteduh, bukan gengsi. Melihat pakaian sebagai penutup badan, bukan sebagai alat untuk pamer atau sombong. Melihat Mobil/Motor sebagai kendaraan bukan sebagai alat gagah-gagahan. Melihat semua kondisi dengan netral, tidak menolak dan tidak perlu melekat. Bekerja dan melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan sepenuh hati. Sehingga siapapun yang mampu “Melihat segala sesuatu apa adanya”, maka hidup ini akan menjadi sangat indah dan lentur.
Syukur mampu merubah segalanya, hidup dan kehidupan kita. Menjadikan apa yang tidak kita peroleh menjadi cukup. Merubah penolakan menjadi penerimaan, kekacauan menjadi harmoni, kebingungan menjadi kejelasan. Syukur dapat mengubah makanan menjadi pesta, rumah menjadi tempat tinggal, orang asing menjadi teman. Syukur adalah nikmat dari masa lalu kita, membawa perdamaian pada hari ini, dan menciptakan visi untuk masa depan.
Begitu kita memperoleh sesuatu, atau mendapatkan sesuatu maka kebanyakan dari kita segera akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pikiran dan Keinginan seperti itu jika menjadi suatu 'kemelekatan' maka akan mengurangi bahkan memadamkan penghargaan dan rasa syukur akan karunia hidup yang sudah banyak kita terima sebagai anugrah Yang Maha Esa.
Mari kita amati diri kita sendiri, bagaimana perasaan kita saat baru saja menempati rumah yang saat ini kita tinggali. Atau bahkan sesaat sebelum kita pindah ke rumah ini dan menempatinya. Apakah getar kebahagiaan itu masih terasa sama sampai saat ini ? atau getaran itu telah lenyap karena kita menginginkan rumah lain yang menurut kita lebih baik, lebih nyaman ?. Saya jadi teringat saat Dalai Lama memenangkan Hadiah Nobel di tahun 1989. Pertanyaan yang di lontarkan para wartawan adalah “Setelah ini apa ?”, ”What's next ?”. Nampaknya apapun yang kita lakukan, membeli Rumah atau Mobil, mendapat Rejeki, memperoleh Pasangan Hidup, mendapat Penghargaan atau apapun tidaklah pernah cukup. Dengan kadar yang berlainan kita semuanya seperti itu.
Salah satu kiat untuk mengatasi kecenderungan tersembunyi yang membahayakan seperti di atas adalah dengan menyakinkan diri kita bahwa ‘yang lebih itu belum tentu lebih baik’. Dan masalahnya bukan terletak pada apa yang belum kita miliki, tetapi lebih di 'kemelekatan' pada ‘keinginan mendapat lebih banyak’. Belajar menjadi ’puas’ bukan berarti kita DILARANG memperoleh yang lebih dari yang sudah kita miliki. Namun janganlah kita 'melekat' pada keinginan untuk memperoleh lebih. Yang berbahaya adalah ‘kemelekatan keinginan’ untuk memperoleh lebih.
Marilah kita bersama-sama belajar mengembangkan apresiasi baru akan karunia yang telah kita dapatkan. Belajar untuk melihat hidup dengan pikiran yang lebih segar, seperti saat pertama kita melihat atau memperolehnya. Kita harus mampu mengembangkan kesadaran yang baru, dan kita akan menemukan bahwa ketika sesuatu (barang atau prestasi) yang baru memasuki kehidupan kita maka, tingkat apresiasi kita kepada hal tersebut akan lebih meningkat. Hargailah segala yang kita miliki, maka kita akan memiliki lebih lagi. Jika kita fokus pada apa yang tidak kita miliki, kita tidak akan pernah merasa cukup dalam hal apapun.
Penyebab ketidak bahagiaan kita adalah adanya disparitas (kesenjangan/jarak) antara yang kita miliki dengan yang kita inginkan. Dan hanya ada dua solusinya, yaitu meningkatkan apa yang kita miliki atau mengeliminasi apa yang kita inginkan. Jika cara pertama, meningkatkan apa yang kita miliki, yang kita pilih, maka kita akan menghadapi realita bahwa keinginan kita berbanding lurus dengan perolehan kita. Maksudnya keinginan kita akan meningkat sejalan dengan apa yang kita peroleh. Cara yang kedua relatif efektif dan tidak memerlukan banyak biaya. Kita dapat memilih menghabiskan waktu dan energi untuk mengejar kebahagiaan dengan memenuhi seluruh keinginan kita, atau kita segera menyadari bahwa apa yang telah kita miliki cukup untuk membahagiakan kita. Keinginan yang belebihan, selain mendatangkan penderitaan juga sering menggiring orang melakukan perbuatan yang mendatangkan karma buruk.
Buddha mengajarkan untuk “Melihat segala sesuatu apa adanya”. Melihat makanan sebagai makanan, bukan pemuas nafsu. Sehingga menghargai makanan apapun. Melihat rumah sebagai tempat berteduh, bukan gengsi. Melihat pakaian sebagai penutup badan, bukan sebagai alat untuk pamer atau sombong. Melihat Mobil/Motor sebagai kendaraan bukan sebagai alat gagah-gagahan. Melihat semua kondisi dengan netral, tidak menolak dan tidak perlu melekat. Bekerja dan melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan sepenuh hati. Sehingga siapapun yang mampu “Melihat segala sesuatu apa adanya”, maka hidup ini akan menjadi sangat indah dan lentur.
Syukur mampu merubah segalanya, hidup dan kehidupan kita. Menjadikan apa yang tidak kita peroleh menjadi cukup. Merubah penolakan menjadi penerimaan, kekacauan menjadi harmoni, kebingungan menjadi kejelasan. Syukur dapat mengubah makanan menjadi pesta, rumah menjadi tempat tinggal, orang asing menjadi teman. Syukur adalah nikmat dari masa lalu kita, membawa perdamaian pada hari ini, dan menciptakan visi untuk masa depan.
Semoga bermanfaat.
Surya Hidayatullah Al-Mataromi : http://cerminrefleksi.blogspot.com/
Silahkan mengutip dan/atau mempublikasikan sebagian atau seluruh artikel di Blog ini dengan menyebut sumber-nya. terimakasih.
Artikel Terkait :
- Jangan Merencanakan untuk Berbuat Baik
- Biarkan Orang Lain Menikmati Rasa Bangganya.
- Biarkan Diri Kita merasa Bosan.
- Bahagia... oh.... Kebahagiaan....
- Prioritaskan apa yang kita miliki bukan apa yang kita inginkan.
- Percayalah Intuisi Kita.
- Jangan Memusingkan Hal-Halkecil dan Sepele.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar